“Tarik sini puingnya Jang,” terdengar riuh suara laki-laki paruh baya dari dalam bangunan berdinding triplek bercat putih berpadu dengan dua jendela diwarnai biru, kontras warna bangunan itu terlihat dari kejauhan. Siang itu udara cukup panas, keringat warga yang tengah gotong royong meleleh membasahi baju pemiliknya.
Pengeras suara atau toa putih terlihat gagah menjulang di atas bambu kecil berwarna coklat. Ternyata, bangunan putih biru itu adalah sebuah mushola yang berdiri di tengah-tengah tumpukan barang bekas yang sedang diperbaiki oleh penghuni kawasannya.
Mushola Baiturridwan, diberi nama oleh masyarakat sekitar, meski hanya bangunan berukuran 4x6 M2 berlantai bekas puing-puing yang diplester, mushola ini sangat dibutuhkan oleh 190 KK yang tinggal di kawasan tersebut. Mushola Baiturridwan berlokasi di Juramangu Timur, Pondok Aren Tangerang Selatan, tak jauh dari kawasan elit kota Bintaro terselip satu kawasan pemulung.
Mushola Baiturridwan jadi tempat para kaum marginal berinteraksi dengan Tuhannya, setelah mengais barang bekas dan sisa di komplek perumahan serta jalanan kota. Mereka kembali ke rumah untuk melepas lelah, kemudian menunaikan sholat. Guna memenuhi kebutuhan sholat berjamaah, mereka butuh tempat yang cukup sehingga warga di sekitar sepakat membangun mushola 10 tahun lalu...
Suara teriakan yang terdengar barusan adalah suara Casman (61) beliau merupakan sesepuh yang dipercaya warga kawasan pemulung untuk mengurus Mushola Baiturridwan. Perawakannya tidak tinggi dengan wajah mulai menua disertai jenggot yang memutih, menceritakan bagaimana mushola ini bertahan.
“Awalnya ya dari barang-barang yang kita temui saat mulung, masih bagus, masih bisa dipakai pasang sana, tambal sini sampai lama-lama punya sedikit rezeki patungan buat beli triplek murah dan kebutuhan mushola,” ungkap Casman mengenang perjuangan membangun mushola dengan mata berkaca menahan air mata yang tak diizinkan turun pemiliknya.
Penghasilan mengais barang bekas yang hanya Rp25.000,- per hari, bukan alasan untuk Casman dan warga kampung pemulung melewatkan sujud dan sekadar mendengarkan tausiyah malam Jum’at di mushola kebanggan mereka.
“Semoga ada yang bantu renovasi bagusin mushola, sekedar punya karpet baru tidak apa karena Ramadan nanti mushola pasti penuh, yang sholat sampai ke luar. Meski kita orang miskin, ibadah harus tetep rajin. Miskin di dunia boleh, tapi jangan sampai miskin di akhirat,” ujarnya.
Pesan sederhana kaum pinggiran yang boleh jadi renungan. Kerap kali kita disibukkan dunia, berusaha mati-matian untuk kaya harta. Takut hidup miskin di dunia, tapi kita lupa bahwa dunia hanya sementara. Bukan harta dunia yang bisa dibawa ke surga melainkan harta yang diamalkan.
dari target Rp 25.000.000
“Tarik sini puingnya Jang,” terdengar riuh suara laki-laki paruh baya dari dalam bangunan berdinding triplek bercat putih berpadu dengan dua jendela diwarnai biru, kontras warna bangunan itu terlihat dari kejauhan. Siang itu udara cukup panas, keringat warga yang tengah gotong royong meleleh membasahi baju pemiliknya.
Pengeras suara atau toa putih terlihat gagah menjulang di atas bambu kecil berwarna coklat. Ternyata, bangunan putih biru itu adalah sebuah mushola yang berdiri di tengah-tengah tumpukan barang bekas yang sedang diperbaiki oleh penghuni kawasannya.
Mushola Baiturridwan, diberi nama oleh masyarakat sekitar, meski hanya bangunan berukuran 4x6 M2 berlantai bekas puing-puing yang diplester, mushola ini sangat dibutuhkan oleh 190 KK yang tinggal di kawasan tersebut. Mushola Baiturridwan berlokasi di Juramangu Timur, Pondok Aren Tangerang Selatan, tak jauh dari kawasan elit kota Bintaro terselip satu kawasan pemulung.
Mushola Baiturridwan jadi tempat para kaum marginal berinteraksi dengan Tuhannya, setelah mengais barang bekas dan sisa di komplek perumahan serta jalanan kota. Mereka kembali ke rumah untuk melepas lelah, kemudian menunaikan sholat. Guna memenuhi kebutuhan sholat berjamaah, mereka butuh tempat yang cukup sehingga warga di sekitar sepakat membangun mushola 10 tahun lalu...
Suara teriakan yang terdengar barusan adalah suara Casman (61) beliau merupakan sesepuh yang dipercaya warga kawasan pemulung untuk mengurus Mushola Baiturridwan. Perawakannya tidak tinggi dengan wajah mulai menua disertai jenggot yang memutih, menceritakan bagaimana mushola ini bertahan.
“Awalnya ya dari barang-barang yang kita temui saat mulung, masih bagus, masih bisa dipakai pasang sana, tambal sini sampai lama-lama punya sedikit rezeki patungan buat beli triplek murah dan kebutuhan mushola,” ungkap Casman mengenang perjuangan membangun mushola dengan mata berkaca menahan air mata yang tak diizinkan turun pemiliknya.
Penghasilan mengais barang bekas yang hanya Rp25.000,- per hari, bukan alasan untuk Casman dan warga kampung pemulung melewatkan sujud dan sekadar mendengarkan tausiyah malam Jum’at di mushola kebanggan mereka.
“Semoga ada yang bantu renovasi bagusin mushola, sekedar punya karpet baru tidak apa karena Ramadan nanti mushola pasti penuh, yang sholat sampai ke luar. Meski kita orang miskin, ibadah harus tetep rajin. Miskin di dunia boleh, tapi jangan sampai miskin di akhirat,” ujarnya.
Pesan sederhana kaum pinggiran yang boleh jadi renungan. Kerap kali kita disibukkan dunia, berusaha mati-matian untuk kaya harta. Takut hidup miskin di dunia, tapi kita lupa bahwa dunia hanya sementara. Bukan harta dunia yang bisa dibawa ke surga melainkan harta yang diamalkan.
Bagikan tautan ke media sosial