Langit masih terlihat gelap, angin berhembus dingin dibelakangku. Tanganku terasa kaku ketika aku mulai menjemur pakaian ibu dan kedua adikku Mutiara (11) dan Agung (9).
Faisal Rijki Muhamad Fauji adalah nama yang Bapak berikan untuku. Setiap hari ketika jalan setapak belum nampak terlihat jelas di depan mataku. Namun aku harus bergegas mulai memulung barang bekas sebelum ter-dahului pemulung lain. Setiap barang bekas itu harus segera kutukar dengan sedikit uang agar Ibu dan kedua Adikku bisa makan pagi ini.
Aku tak perduli jika aku harus menahan perih di perutku selama aku bisa melihat mereka tersenyum.
Saat Usiaku 14 tahun aku terpaksa putus sekolah setelah ayahku meninggal dunia. Tiga bulan setelah kepergian ayah, ibuku Ibu Rokayah (48) terkena penyakit diabetes sehingga Ibu harus rela kehilangan sebelah kakinya karena di Amputasi akibat luka yang tak kunjung sembuh dan mulai membusuk.
Rentetan ujian itu membuat aku sadar aku harus menggantikan Almarhum Ayah menjadi tulang punggung keluargaku dan merelakan sekolahku terhenti. Walau Ada keinginan dalam hati kecilku untuk tetap bisa sekolah, namun aku juga sadar bahwa ibuku perlu terus di rawat, serta kedua adiku lebih memerlukan pendidikan juga penjagaan dariku di banding sebelumnya. Dan aku tidak ingin jika mereka sampai harus putus sekolah seperti Aku.
Setelah aku menyuapi ibuku, aku segera menyiapkan perlengkapan sekolah kedua adikku. Meskipun tak banyak waktu bagiku untuk memejamkan mata, aku segera keluar mencari pekerjaan yang bisa memberikan sedikit waktu untuk keluargaku bertahan. Terkadang aku menjadi buruh angkut di warung sekitar tempatku, setelahnya aku mencari rumput untuk peliharaan tetanggaku.
Terik matahari mulai naik di atas kepalaku. Setelah kembali untuk merawat dan menyiapkan makan untuk Ibu aku kembali bekerja di sebuah pabrik pengolahan pisang rumahan. Setidaknya ini adalah salah satu mata pencaharian tetapku meski disini aku hanya diperbantukan saja.
Menjelang sore sambil berjalan pulang dari pabrik aku kembali mencari botol-botol dan barang bekas di sepanjang jalan yang aku lewati. Seraya berharap mendapatkan hasil lebih untuk bisa aku tabung demi mewujudkan mimpi Ibu untuk membeli kaki palsu. walau seringnya tabunganku itu habis untuk membeli beras atau bekal Adik-adiku.
Malam mulai menyambut aku yang bersiap untuk kembali mengais rejeki. Deru kendaraan dan dinginnya cuaca malam seolah menjadi teman setia bagiku setiap hari saat aku bekerja menjadi tukang parkir di tempat yang cukup jauh dari rumahku.
Meski aku harus berjalan beberapa kilometer untuk sampai ke tempat ini, disinilah aku bisa sedikit menenangkan batinku yang sejujurnya kadang lelah menjalani kehidupan.
Menjelang tengah malam Ketika orang lain terlelap, aku tengah berjalan menuju kembali ke rumah tempat ibu dan adikku yang pasti sudah terlelap.
Meski ada pertanyaan besar yang terus menggelayut di benaku "sampai kapan aku harus menjalani hidup seperti ini" Namun aku yakin bahwa Tuhan pasti akan menjawab doa-doa ku serta menguatkan pundak ini untuk terus berusaha dan aku tidak akan mengubur mimpiku untuk kembali melanjutkan sekolahku meski aku tak tahu kapan itu akan terwujud.
Insan baik, maukah kita hadir untuk membersamai perjuangan Remaja Yatim luar biasa yang begitu tegar menjalani hari-harinya yang tak mudah. Uluran tangan dan donasi terbaik kita mungkin menjadi jawaban do'a yang setiap hari di panjatkan Faisal dan keluarga.
Disclaimer: Donasi yang terkumpul akan digunakan untuk segala kebutuhan keluarga Faisal, terutama untuk biaya pendidikan faisal dan Adik-adiknya juga pengobatan dan kaki palsu Ibu Rokayah. Juga akan digunakan oleh penerima manfaat lainnya serta keberlangsungan program sosial kemanusiaan di bawah naungan dan pendampingan yayasan Amal baik insani.
dari target Rp 100.000.000
Langit masih terlihat gelap, angin berhembus dingin dibelakangku. Tanganku terasa kaku ketika aku mulai menjemur pakaian ibu dan kedua adikku Mutiara (11) dan Agung (9).
Faisal Rijki Muhamad Fauji adalah nama yang Bapak berikan untuku. Setiap hari ketika jalan setapak belum nampak terlihat jelas di depan mataku. Namun aku harus bergegas mulai memulung barang bekas sebelum ter-dahului pemulung lain. Setiap barang bekas itu harus segera kutukar dengan sedikit uang agar Ibu dan kedua Adikku bisa makan pagi ini.
Aku tak perduli jika aku harus menahan perih di perutku selama aku bisa melihat mereka tersenyum.
Saat Usiaku 14 tahun aku terpaksa putus sekolah setelah ayahku meninggal dunia. Tiga bulan setelah kepergian ayah, ibuku Ibu Rokayah (48) terkena penyakit diabetes sehingga Ibu harus rela kehilangan sebelah kakinya karena di Amputasi akibat luka yang tak kunjung sembuh dan mulai membusuk.
Rentetan ujian itu membuat aku sadar aku harus menggantikan Almarhum Ayah menjadi tulang punggung keluargaku dan merelakan sekolahku terhenti. Walau Ada keinginan dalam hati kecilku untuk tetap bisa sekolah, namun aku juga sadar bahwa ibuku perlu terus di rawat, serta kedua adiku lebih memerlukan pendidikan juga penjagaan dariku di banding sebelumnya. Dan aku tidak ingin jika mereka sampai harus putus sekolah seperti Aku.
Setelah aku menyuapi ibuku, aku segera menyiapkan perlengkapan sekolah kedua adikku. Meskipun tak banyak waktu bagiku untuk memejamkan mata, aku segera keluar mencari pekerjaan yang bisa memberikan sedikit waktu untuk keluargaku bertahan. Terkadang aku menjadi buruh angkut di warung sekitar tempatku, setelahnya aku mencari rumput untuk peliharaan tetanggaku.
Terik matahari mulai naik di atas kepalaku. Setelah kembali untuk merawat dan menyiapkan makan untuk Ibu aku kembali bekerja di sebuah pabrik pengolahan pisang rumahan. Setidaknya ini adalah salah satu mata pencaharian tetapku meski disini aku hanya diperbantukan saja.
Menjelang sore sambil berjalan pulang dari pabrik aku kembali mencari botol-botol dan barang bekas di sepanjang jalan yang aku lewati. Seraya berharap mendapatkan hasil lebih untuk bisa aku tabung demi mewujudkan mimpi Ibu untuk membeli kaki palsu. walau seringnya tabunganku itu habis untuk membeli beras atau bekal Adik-adiku.
Malam mulai menyambut aku yang bersiap untuk kembali mengais rejeki. Deru kendaraan dan dinginnya cuaca malam seolah menjadi teman setia bagiku setiap hari saat aku bekerja menjadi tukang parkir di tempat yang cukup jauh dari rumahku.
Meski aku harus berjalan beberapa kilometer untuk sampai ke tempat ini, disinilah aku bisa sedikit menenangkan batinku yang sejujurnya kadang lelah menjalani kehidupan.
Menjelang tengah malam Ketika orang lain terlelap, aku tengah berjalan menuju kembali ke rumah tempat ibu dan adikku yang pasti sudah terlelap.
Meski ada pertanyaan besar yang terus menggelayut di benaku "sampai kapan aku harus menjalani hidup seperti ini" Namun aku yakin bahwa Tuhan pasti akan menjawab doa-doa ku serta menguatkan pundak ini untuk terus berusaha dan aku tidak akan mengubur mimpiku untuk kembali melanjutkan sekolahku meski aku tak tahu kapan itu akan terwujud.
Insan baik, maukah kita hadir untuk membersamai perjuangan Remaja Yatim luar biasa yang begitu tegar menjalani hari-harinya yang tak mudah. Uluran tangan dan donasi terbaik kita mungkin menjadi jawaban do'a yang setiap hari di panjatkan Faisal dan keluarga.
Disclaimer: Donasi yang terkumpul akan digunakan untuk segala kebutuhan keluarga Faisal, terutama untuk biaya pendidikan faisal dan Adik-adiknya juga pengobatan dan kaki palsu Ibu Rokayah. Juga akan digunakan oleh penerima manfaat lainnya serta keberlangsungan program sosial kemanusiaan di bawah naungan dan pendampingan yayasan Amal baik insani.
Bagikan tautan ke media sosial