“Kadang jagung-jagung saya sering dicuri orang, le. Belum lagi dirusak hewan-hewan” Cerita Mbah Parto sambil merontokan biji-biji jagung.

Namanya Mbah Suparto 88 tahun. Mata terpejamnya bukan karena mengantuk, tapi kelopaknya sudah susah untuk dibuka dan pengelihatannya rabun.

Sehari-hari kegiatan Mbah Parto tidak mudah. Usia senja dan dengan pengelihatan rabunnya ia menjadi buruh kebun orang, mulai dari menanam, menjaga, hingga memanen dengan upah 15 ribu/hari. Tak jarang jagung jagung yang ia rawat dicuri orang dan kakek parto harus mengganti dengan potong gaji.

Mbah Parto juga mengangkut karung karung berisi rumput untuk memberikan makan sapi juragan kebun. Punggung rentanya beradu dengan berat karung yang ia panggul. Selama beraktifitas Mbah parto harus menggunakan tongkat karena matanya rabun tidak bisa melihat. Namun Mbah Parto tidak pernah mengeluh dan menyerah, ia terus berusaha. Hal ini ia lakukan untuk melanjutkan hidup diri dan istri tercinta dirumah.

Mbah Suparto hidup berdua dengan istrinya di gubuk tua reot nan pelosok. Kakek Suparto tidak memiliki apa-apa hanya istri yang setia menemani. Ia hidup di pelosok tengah ladang itu hanya numpang. Tanah dan bangunan rumah adalah milik juragan kebun yang ia bantu rawat. Buruh Mbah Parto diberi upah 15ribu perhari dan tempat tinggal ditengah ladang itu.

“Saya membayar sewa tanah dan rumah ini dengan jeri payah buruh ladang” Ujar Mbah Parto.

“Yang penting perkerjaan saya halal, le. dan Mbah ngga minta-minta.” Ujar penuh ketulusan Mbah Parto.

Kebanyakan orang mungkin bekerja untuk mengejar dunia yang bergelimang harta. Tapi Mbah Parto bekerja tidak berharap apapun hanya agar dapat menyambung hidup, melanjutkan nafas esok hari untuk diri dan istrinya.